Mbah Bisri Mustofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah ini, dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915.Semula, oleh kedua orang tuanya, H. Zaenal Mustofa dan Chotijah, ia diberi nama Mashadi,ketiga saudaranya yang lain adalah ,Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum, Setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 , Ia mengganti nama dengan Bisri. Selanjutnya. Ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa. Mbah Bisri, belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil,dipesantren ini, Mbah Bisri muda, menekuni ilmu-ilmu agama ,terutama ilmu nahwu, dengan kitab Alfiah sebagai pegangan utamanya.. Selain di pesantren Kasingan, Mbah Bisri juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari.dan untuk memperdalam ilmunya, Mbah Bisri juga mengaji di kota suci Makah tahun 1936, kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-maghribi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin. Kiai Cholil Kasingan,selain sebagai guru, adalah juga sebagai mertua Mbah Bisri, ia dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama Ma’rufah. Setelah wafatnya Kiai Cholil, Mbah Bisri ikut aktif mengajar di pesantren milik mertuanya tersebut di Kasingan Rembang. Selanjutnya sewaktu pesantren Kasingan bubar, seiring pendudukan Jepang, Mbah Bisri meneruskan pesantren tersebut dengan mendirikan pesantren di Leteh Rembang yang kemudian diberi nama,pesantren Raudhatut Thalibin. Pesantren ini sampai sekarang berkembang sangat pesat.
Sosok Demokratis, Sayang terhadap Putra-Putri, Santri dan Umat
Mbah Bisri beoleh dibilang sosok yang demokratis, sayang terhadap para putra-putrinya, santri dan umat. Dalam mendidik santri-santrinya Mbah Bisri mengedepankan kasih sayang dan kesuriteladanan. Saking cintanya kepada para santri, dalam setiap kali mengisi ceramah, Mbah Bisri selalu memohon kepada Allah SWT seandainya pengajiannya itu mendapat imbalan pahala dari Allah SWT maka sebaiknya pahala itu diganti supaya hati para santri cepat terbuka. Ini merupakan pengakuan Mbah Bisri sendiri sebagaimana kesaksian muridnya KH Wildan Abdulchamid, Ketua MUI Kendal. Mbah Bisri juga sangat dekat dan sayang dengan umat, dari kelas mana saja. Beliau menerima siapa saja yang bertamu ke rumahnya, tak pandang derajat dan pangkatnya. Rumahnya terbuka untuk umum. Beliau juga menghadiri setiap undangan ceramah dari siapa pun. Kecuali jika ada halangan yang benar-benar memaksanya untuk tidak bisa hadir. Terhadap putra-putrinya pun Mbah Bisri juga sangat sayang dan dalam mendidik dikenal cukup demokratis. Sebagaimana pengakuan putra pertamanya, KH.Cholil Bisri (alm), bahwa abahnya tidak pernah memaksakan anak-anaknya harus begini, dan harus begitu. Mbah Bisri tidak pernah memaksakan anaknya dalam hal pendidikan, misalnya, harus urut (teratur dalam jenjang pendidikan). Mbah Bisri juga tidak memaksakan dalam hal menentukan jodoh anak-anaknya. Ia hanya memberikan kriteria-kriteria, yaitu kriteria pasangan yang bisa diajak berjuang. . Sikap demokratis dan tidak mau dipaksa, dan memaksa orang itu, bisa dilihat dari cerita, ketika Mbah Bisri muda, hendak dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho, Makam Agung Tuban. Ketika itu, bulan Sya’ban tahun 1934 M, Bisri muda diajak oleh KH Cholil, gurunya di Kasingan Rembang, untuk pergi ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas apa tujuan dan mengapa Mbah Bisri muda diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah KH. Chusain, KH Cholil berkata kepada Mbah Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?” Tentu saja Mbah Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.” KH Cholil meneruskan : “Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.” Mbah Bisri muda pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian KH Cholil berkata lagi; “Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban. Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.” Akan tetapi, Mbah Bisri muda memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. KH Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang laim juga. Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Mbah Bisri muda langsung diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu KH Cholil dan Bisri muda yang akan melakukan khitbah (pertunangan) kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin. Tetapi KH Cholil sudah melakukan perundingan dengan KH Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri muda dengan puteri KH Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal 7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad nikah. Tanggal 3 Syawal,beberapa hari sebelum kerawuhan KH Murtdlo dan putrinya, Bisri muda ditemani Sdr. Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah kawin tersebut. ` Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman, keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal. Setelah sebulan lebih hidup diperantauan,Ia kembali ke Rembang. Bisri muda langsung menghadap KH Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya terebut. Dijabatnya tangan KH Cholil, tetapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut KH Cholil. Walau Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan KH Cholil, tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri muda mengikuti kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri muda sama sekali tidak ditanya oleh KH Cholil sebagaimana biasanya. Tahun 1932 M, Bisri muda minta izin kepada KH Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi KH Cholil tidak mengizinkan. Sementara Bisri muda merasa dikucilkan oleh KH Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan dengan putri KH Murtadho. “Pengucilan” tersebut, sampai sekitar setahun lebih, dan berakhir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan KH Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan dijodohkan dengan puteri KH Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa KH Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk dijadikan menantunya. Bisri kemudian mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah antara Bisri dengan Ma’rufah binti KH Cholil. Pada waktu itu Bisri berusia 20 tahun dan Ma’rufah juga berusia 20 tahun. Setelah menjadi menantu KH Cholil, Bisri muda membantu mengajar di pesantren KH Cholil, pesantren dimana Bisri muda menemba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut ,Mbah Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.
Produktif Menulis
Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. Mbah Bisri tetap menyempatkan diri untuk menulis,, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan di kereta, di bus, di mana saja ,Ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan,lahir sebagai karya tulisnya. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah, tafsir Al-Ibriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : 1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3). Ahmad Shofwan (sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh Mbah Bisri, tema-tema yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi yusuf lan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dsb. Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, Mbah Bisri mempunyai ‘falsafah’ yang menarik. Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra Mbah Bisri, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini. “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar ,seperti biasanya, “tapi mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.”. Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, Mbah Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!” Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. “Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?” Mbah Bisri menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit ,periuknya bisa ngguling,saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..”katan Mbah Bisri..”… Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.” Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa. (Gus Mus dalam Taqdim buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, LkiS, Jogja, 2005, hlm. xxi-xxii).
Agamawan Moderat
Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa,adalah seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma’ruf nahi munkar yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya konsep tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima. Mbah Bisri sering mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun Islam yang ada lima itu ditambah rukun yang keenam yakni amar ma’ruf nahi munkar. Pemikiran-pemikiran Mbah Bisri tersebut biasanya dituangkan dalam tulisan-tulisan.
Menjadi Pejuang Gigih dan Macan Podium
Darah pejuang agaknya sudah kental dalam diri Mbah Bisri. Sejak era penjajahan Belanda, Jepang, era kemerdekaan, sampai akhir hayatnya, Beliau adalah pejuang yang gigih. Setelah Indonesia merdeka, Mbah Bisri sangat bersemangat untuk ikut membangun bangsa ini. Dalam kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi, Mbah Bisri merupakan aktivis Masyumi yang gigih berjuang. Akan tetapi setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total berjuang untuk NU. Tahun 1955 Mbah Bisri menjadi anggota konstituante, wakil dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mbah Bisri masuk di dalamnya. Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang orator handal, Singa podium. Dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Menurut KH Syaifudin Zuhri, teman seperjuangan di NU, yang mantan Menteri Agama, Mbah Bisri merupakan sosok yang cukup pandai berpidato, dengan mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit, menjadi gamblang dan mudah diterima oleh orang desa maupun kota, sesuatu yang membosankan, menjadi mengasyikkan, kritik-kritiknya tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan. Selain itu, beliau mampu menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Di samping politisi gigih dan singa podium, Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan orde baru. Ketika semua partai Islam (termasuk NU) harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Mbah Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Beliau menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut. Menjelang masa kampanye Pemilu 1977,yang kurang seminggu lagi, tepatnya hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), waktu asar, Mbah Bisri, salah seorang ulama besar umat ini, dipanggil ke haribaan Allah SWT. Mbah Bisri Mustofa wafat di Rumah sakit Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru. Saat pemakaman Mbah Bisri, masyarakat Rembang dan umumnya Jawa Tengah bahkan juga, dari berbagai pelosok negeri ini, berdatangan dan bertakziah, untuk memberikan penghormatan kepada almaghfurlah. Ratusan ribu pelayat rela berdesak-desakan,untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebut untuk dapat mencium pipi almaghfurlah,sebagai tanda cinta dan penghormatan . Umat merasakan betul telah ditinggalkan seorang kiai, ulama, pemimpin, sekaligus bapak.serta Singa Podium yang produktip menulis,Karya karyanya akan abadi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepada Beliau. Dan umatnya yang ditinggalkan bisa mengambil suri tauladan dan meneruskan semangat juang Beliau. Amin.
(Cholidul Adib).
Sosok Demokratis, Sayang terhadap Putra-Putri, Santri dan Umat
Mbah Bisri beoleh dibilang sosok yang demokratis, sayang terhadap para putra-putrinya, santri dan umat. Dalam mendidik santri-santrinya Mbah Bisri mengedepankan kasih sayang dan kesuriteladanan. Saking cintanya kepada para santri, dalam setiap kali mengisi ceramah, Mbah Bisri selalu memohon kepada Allah SWT seandainya pengajiannya itu mendapat imbalan pahala dari Allah SWT maka sebaiknya pahala itu diganti supaya hati para santri cepat terbuka. Ini merupakan pengakuan Mbah Bisri sendiri sebagaimana kesaksian muridnya KH Wildan Abdulchamid, Ketua MUI Kendal. Mbah Bisri juga sangat dekat dan sayang dengan umat, dari kelas mana saja. Beliau menerima siapa saja yang bertamu ke rumahnya, tak pandang derajat dan pangkatnya. Rumahnya terbuka untuk umum. Beliau juga menghadiri setiap undangan ceramah dari siapa pun. Kecuali jika ada halangan yang benar-benar memaksanya untuk tidak bisa hadir. Terhadap putra-putrinya pun Mbah Bisri juga sangat sayang dan dalam mendidik dikenal cukup demokratis. Sebagaimana pengakuan putra pertamanya, KH.Cholil Bisri (alm), bahwa abahnya tidak pernah memaksakan anak-anaknya harus begini, dan harus begitu. Mbah Bisri tidak pernah memaksakan anaknya dalam hal pendidikan, misalnya, harus urut (teratur dalam jenjang pendidikan). Mbah Bisri juga tidak memaksakan dalam hal menentukan jodoh anak-anaknya. Ia hanya memberikan kriteria-kriteria, yaitu kriteria pasangan yang bisa diajak berjuang. . Sikap demokratis dan tidak mau dipaksa, dan memaksa orang itu, bisa dilihat dari cerita, ketika Mbah Bisri muda, hendak dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho, Makam Agung Tuban. Ketika itu, bulan Sya’ban tahun 1934 M, Bisri muda diajak oleh KH Cholil, gurunya di Kasingan Rembang, untuk pergi ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas apa tujuan dan mengapa Mbah Bisri muda diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah KH. Chusain, KH Cholil berkata kepada Mbah Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?” Tentu saja Mbah Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.” KH Cholil meneruskan : “Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.” Mbah Bisri muda pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian KH Cholil berkata lagi; “Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban. Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.” Akan tetapi, Mbah Bisri muda memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. KH Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang laim juga. Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Mbah Bisri muda langsung diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu KH Cholil dan Bisri muda yang akan melakukan khitbah (pertunangan) kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin. Tetapi KH Cholil sudah melakukan perundingan dengan KH Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri muda dengan puteri KH Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal 7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad nikah. Tanggal 3 Syawal,beberapa hari sebelum kerawuhan KH Murtdlo dan putrinya, Bisri muda ditemani Sdr. Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah kawin tersebut. ` Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman, keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal. Setelah sebulan lebih hidup diperantauan,Ia kembali ke Rembang. Bisri muda langsung menghadap KH Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya terebut. Dijabatnya tangan KH Cholil, tetapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut KH Cholil. Walau Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan KH Cholil, tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri muda mengikuti kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri muda sama sekali tidak ditanya oleh KH Cholil sebagaimana biasanya. Tahun 1932 M, Bisri muda minta izin kepada KH Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi KH Cholil tidak mengizinkan. Sementara Bisri muda merasa dikucilkan oleh KH Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan dengan putri KH Murtadho. “Pengucilan” tersebut, sampai sekitar setahun lebih, dan berakhir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan KH Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan dijodohkan dengan puteri KH Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa KH Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk dijadikan menantunya. Bisri kemudian mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah antara Bisri dengan Ma’rufah binti KH Cholil. Pada waktu itu Bisri berusia 20 tahun dan Ma’rufah juga berusia 20 tahun. Setelah menjadi menantu KH Cholil, Bisri muda membantu mengajar di pesantren KH Cholil, pesantren dimana Bisri muda menemba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Mbah Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut ,Mbah Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.
Produktif Menulis
Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. Mbah Bisri tetap menyempatkan diri untuk menulis,, dan waktu luangnya, tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan di kereta, di bus, di mana saja ,Ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat, maupun ringan,lahir sebagai karya tulisnya. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah, tafsir Al-Ibriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau oleh tiga orang santri, yaitu : 1) Munshorif, 2) Maghfur, dan 3). Ahmad Shofwan (sekarang tinggal di Benowo Surabaya) kemudian kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Tidak hanya tema-tema yang berat saja yang ditulis oleh Mbah Bisri, tema-tema yang ringan pun ternyata juga Beliau tulis, seperti buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi yusuf lan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dsb. Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, Mbah Bisri mempunyai ‘falsafah’ yang menarik. Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putra Mbah Bisri, bahwa pernah suatu ketika, beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, tentang tulis-menulis ini. “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar ,seperti biasanya, “tapi mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.”. Dengan gaya khasnya, masih cerita Gus Mus, Mbah Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!” Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali. “Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?” Mbah Bisri menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit ,periuknya bisa ngguling,saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..”katan Mbah Bisri..”… Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.” Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa. (Gus Mus dalam Taqdim buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, LkiS, Jogja, 2005, hlm. xxi-xxii).
Agamawan Moderat
Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa,adalah seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang sampai tiga kali revisi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma’ruf nahi munkar yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini ditunjukkan dengan disejajarkannya konsep tersebut dengan rukun-rukun Islam yang ada lima. Mbah Bisri sering mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun Islam yang ada lima itu ditambah rukun yang keenam yakni amar ma’ruf nahi munkar. Pemikiran-pemikiran Mbah Bisri tersebut biasanya dituangkan dalam tulisan-tulisan.
Menjadi Pejuang Gigih dan Macan Podium
Darah pejuang agaknya sudah kental dalam diri Mbah Bisri. Sejak era penjajahan Belanda, Jepang, era kemerdekaan, sampai akhir hayatnya, Beliau adalah pejuang yang gigih. Setelah Indonesia merdeka, Mbah Bisri sangat bersemangat untuk ikut membangun bangsa ini. Dalam kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi, Mbah Bisri merupakan aktivis Masyumi yang gigih berjuang. Akan tetapi setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total berjuang untuk NU. Tahun 1955 Mbah Bisri menjadi anggota konstituante, wakil dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mbah Bisri masuk di dalamnya. Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang orator handal, Singa podium. Dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Menurut KH Syaifudin Zuhri, teman seperjuangan di NU, yang mantan Menteri Agama, Mbah Bisri merupakan sosok yang cukup pandai berpidato, dengan mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit, menjadi gamblang dan mudah diterima oleh orang desa maupun kota, sesuatu yang membosankan, menjadi mengasyikkan, kritik-kritiknya tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan. Selain itu, beliau mampu menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Di samping politisi gigih dan singa podium, Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan orde baru. Ketika semua partai Islam (termasuk NU) harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Mbah Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Beliau menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut. Menjelang masa kampanye Pemilu 1977,yang kurang seminggu lagi, tepatnya hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), waktu asar, Mbah Bisri, salah seorang ulama besar umat ini, dipanggil ke haribaan Allah SWT. Mbah Bisri Mustofa wafat di Rumah sakit Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru. Saat pemakaman Mbah Bisri, masyarakat Rembang dan umumnya Jawa Tengah bahkan juga, dari berbagai pelosok negeri ini, berdatangan dan bertakziah, untuk memberikan penghormatan kepada almaghfurlah. Ratusan ribu pelayat rela berdesak-desakan,untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebut untuk dapat mencium pipi almaghfurlah,sebagai tanda cinta dan penghormatan . Umat merasakan betul telah ditinggalkan seorang kiai, ulama, pemimpin, sekaligus bapak.serta Singa Podium yang produktip menulis,Karya karyanya akan abadi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepada Beliau. Dan umatnya yang ditinggalkan bisa mengambil suri tauladan dan meneruskan semangat juang Beliau. Amin.
(Cholidul Adib).
No comments:
Post a Comment