Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Belum lagi kering duka atas musibah kemanusiaan gelombang tsunami di Aceh, India, Srilangka dan negara-negara tetangga lainnya, hari ini duka bertambah: KH Muntaha Alhafidz telah wafat, Rabu, 29 Desember 2004. KH Muntaha Alhafidz adalah pengasuh Pondok Pesantren Al Asy’ariah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau adalah guru, ulama panutan, dan orang yang sangat kami cintai.
Membaca berita duka ini, saya sempat terpaku untuk beberapa saat. Berat menahan kelopak mata untuk tidak menumpahkan air mata. Rasa kehilangan dan kegersangan tiba-tiba menyergap ruang batin saya yang paling dalam. Hampa.
Wafatnya KH Muntaha Alhafidz telah meninggalkan ruang kosong dalam diri saya yang mungkin sulit akan terisi untuk jangka waktu yang lama. Guru kami ini, KH Muntaha Alhafidz, berangkat dari takzim dan kecintaan yang mendalam, kami panggil dengan Mbah Mun. Ulama sepuh, karismatik, dan pernah dikhoskan oleh Abdurrahman “Gus Dur” Wahid.
Sosok Mbah Mun adalah sosok istimewa di keluarga saya. Sejak masih di bangku SMP, yang saya habiskan di kampung sendiri, Abah saya selalu berkata: “Selepas SMP kamu harus ke Kalibeber, ngaji sama Mbah Mun.”
“Kenapa saya harus jauh-jauh mondok ke daerah lereng pegunungan Dieng itu?” bantah saya.
“Kalau kita akan ngaji, carilah guru yang tua, soleh, alim, dan wara’.” Jawab Abah. Waktu itu saya tidak tahu apa makna kriteria-kriteria tersebut.
“Mbah Muntaha ini,” lanjut Abah, “juga seorang penghafal Al Qur’an, Hafidz, yang tidak saja mberkahi, tapi karena saya juga berharap kamu akan menjadi seorang Hafidz kelak.” Saya mengiyakan, dan berangkat. Satu tahun berikutnya kakak saya menyusul. Saya masuk SMA TAQ (Takhasus Al Qur’an), sedang kakak saya masuk IIQ (Institut Ilmu Al Qur’an; sekarang sudah dirubah menjadi UNSIQ, Universitas Sains Al-Qur’an). Tahun-tahun berikutnya menyusul adik-adik saya.
Pada tahun awal kedatangan saya di Kalibeber, kebetulan, Mbah Muntaha sedang mendirikan SMP dan SMA TAQ. Pada tahun-tahun sebelumnya, Mbah Mun baru mendirikan IIQ Jawa Tengah. Respon masyarakat di daerah Wonosobo dan sekitarnya sangat luar biasa. Untuk kelas pertama SMA TAQ saja, angkatan pertama terdaftar sebanyak tujuh kelas, dengan setiap kelasnya tidak kurang dari 45-an siswa. Saya termasuk angkatan pertama SMA TAQ tersebut. SMP TAQ dengan lima kelas. Pada tahun-tahun berikutnya, antusiasme masyarakat semakin tinggi, SMP dan SMA TAQ dijejali dengan siswa baru dari berbagai pelosok Tanah Air. Pada masa itu tidak kurang 16 propinsi tercatat sebagai daerah asal santri.
Setelah beberapa saat di Kalibeber, saya baru bisa memahami kriteria-kriteria yang Abah saya ceritakan. Rupanya, kriteria-kriteria tersebut tercantum di sebuah kitab tentang tata cara dan adab belajar kalangan pesantren, Ta’limul Muta’alim fi Adab al Ta’allum, kriteria yang menjadi patokan para Nahdliyin dalam mengirimkan putra-putrinya ke sebuah pesantren. Dan saya baru tahu, semua kriteria-kriteria yang Abah saya sebut betul-betul semuanya ada pada Mbah Mun.
Selain itu, sifat menonjol Guru kami ini adalah murah hati. Kesejahteraan warga setempat menjadi perhatian khusus Mbah Muntaha. Strategi ekonomi Mbah Muntaha dalam memberdayakan warga telah berhasil. Dengan berduyun-duyunnya ribuan santri yang datang mondok, pelan-pelan, ekonomi warga daerah Kalibeber dan sekitarnya menjadi makin terangkat. Arus uang masuk dari para wali santri ke Kalibeber tidak kemana-mana, tapi ke brangkas warga Kalibeber. Mbah Mun melarang pihak pesantren membuat dapur umum. “Biarkan para santri makan di warung-warung dan di rumah warga, atau memasak sendiri,” ujar Mbah Mun suatu ketika. Ini sifat panutan Mbah Muntaha yang sangat membekas kuat di benak saya: perilaku zuhud, ikhlas dan berkhidmah untuk umat. Dengan makin bertambahnya jumlah penduduk Kalibeber, strategi ini adalah salah satu strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tepat. Sekarang ini, tenaga kerja di daerah tersebut terserap di lembaga pendidikan tersebut. Dulu, ketika penduduk Kalibeber belum banyak, Mbah Muntaha cukup dengan menyantuni saja, dan Mbah Muntaha sendiri mencukupkan diri dengan pesantren khusus penghafal Al Qur’annya yang sederhana, pesantren Al Asy’ariah.
Pesantren Al Asy’ariyah adalah sebuah pesantren tua. Mbah Muntaha merupakan generasi ketiga pemegang pesantren tersebut. Pendiri pesantren ini adalah Kyai Abdurrahman, ulama seperjuangan Pangeran Diponegoro.
Pada saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, para pengikutnya dikejar-kejar, Mbah Abdurrahman berhasil meloloskan diri, dan bersembunyi di lereng pegunungan Dieng –kelak, daerah ini menjadi desa Kalibeber sekarang. Di desa ini Mbah Abdurrahman menyebarkan dan mengajarkan Islam. Akhirnya, ketika para santri mulai berdatangan, cikal bakal pesantren Al Asy’ariyah berdiri.
Generasi kedua pesantren ini diasuh oleh sang putra, Kyai Asy’ari –nama yang kelak diabadikan oleh Mbah Muntaha untuk nama pesantren tersebut. Ternyata, pemilihan nama tersebut, bukan tanpa sebab. Tetapi karena kesan mendalam Mbah Muntaha atas perjuangan Mbah Asy’ari yang gigih membela rakyat dan Islam, terutama dalam konfrontasinya dengan Belanda.
Pada masa kemerdekaan, karena kecintaan Mbah Asy’ari terhadap rakyat dengan advokasi-advokasi kerasnya, dan kecintaannya terhadap kemerdekaan dan Tanah Air, Belanda merasa gerah. Mbah Asy’ari dikejar-kejar. Untuk menghindari penangkapan Belanda, Mbah Asy’ari mengungsi ke daerah lereng terjal pegunungan Dieng yang sangat sulit dijangkau orang, Dero Duwur. Belum sempat kembali lagi ke Kalibeber, Mbah Asy’ari terserang sakit, dan wafat di tempat persembunyian tersebut. Setiap menjelang Ramadhan, sudah menjadi tradisi, para santri Kalibeber diwajibkan untuk napak tilas perjuangan berat Mbah Asy’ari ini, dan sekaligus berziarah ke makam beliau. Bagi saya, tradisi napak tilas ini adalah sebuah tradisi yang sangat bermakna. Pada saat-saat napak tilas tersebut semangat patriotisme seakan-akan meledak. Luar biasa.
Sepeninggal Mbah Asy’ari, sebagai putra tertua, Mbah Muntaha mengambil alih estafet kepemimpinan pesantren warisan Mbah Abdurrahman tersebut, dan dirubah-namakan menjadi Al Asyari’ah. Pesantren ini tetap melanjutkan tradisinya sebagai pesantren penghafal Al Qur’an. Mbah Mun, selain mendapatkan ijazah hafidz dari beberapa kyai ternama pada masanya, juga berguru ke beberapa ulama besar pada zamannya.
Bagi Mbah Mun, seperti yang sering diceritakan kepada kami, saat-saat paling berkesan adalah saat mondok di Kendal. Di pesantren ini, tidak saja diajarkan hidup sederhana, wara’ dan zuhud, tapi juga karena berat perjalanan yang harus di tempuh. Pada suatu masa, untuk bisa mencapai daerah Kendal, dari Wonosobo Mbah Muntaha harus melewati daerah angker Alas Roban, yang masa itu terkenal sebagai pusat perampok. Perjalanan ini dilewati Mbah Mun dengan berjalan kaki. Pada masa lain, Mbah Muntaha juga melewati jalan lain, menerobos pegunungan Dieng, dari lereng sebelah selatan, hingga menembus ke lereng sebelah utara hingga sampai di daerah Kendal. Lagi-lagi, perjalanan dengan berjalan kaki. Sebuah perjalanan yang sangat mengesankan, begitu beliau menggambarkan. 14 tahun silam, kami para santri Kalibeber, putra dan putri, diwajibkan untuk berangkat ke puncak pegunungan Dieng, ribuan santri, berangkat dengan berkendaraan, dan pulang ke Kalibeber berpuluh-puluh kilometer dengan berjalan kaki, agar merasakan bagaimana masa-masa sulit beliau dalam belajar. Sungguh perjalanan musafir belajar yang melelahkan, dan –satu lagi– mengasyikkan. Di samping itu, pemandangan indah dan keajaiban-keajaiban alam, kawah Si Kidang misalnya, dapat langsung kami saksikan selama napak tilas ini. Kami terpesona dengan kebesaran Allah SWT. Subhanallah. Maha Suci Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Dari kacamata tahun 2004, 14 tahun kemudian, masa-masa tersebut betul-betul indah. Sangat mengesankan. Tak terasa waktu 14 tahun bergerak begitu cepat. Pengalaman-pengalaman semacam itu rasa-rasanya baru kemaren berlangsung.
Saya heran, rentang hidup yang sudah cukup lama ini, masa-masa yang hanya berlangsung beberapa tahun di Kalibeber begitu sulit untuk dilupakan. Mungkin ini berkat ketulusan dan keikhlasan Mbah Muntaha dalam mendidik kami. Sifat wira’i dan zuhud Mbah Muntaha begitu membekas di memori saya, sebuah tauladan kesalehan para ulama-ulama sepuh. Bahkan kepenatan belajar dari pagi hingga malam yang tidak ada hentinya, seakan tidak kami rasakan lagi. Saya yakin, sekali lagi, semua ini berkat keikhlasan, ketulusan dan rasa sayang beliau ke kami.
Di bawah dingin udara gunung, kami dibangunkan jam 4 pagi. Berat, tapi wajib. Salat sunah, dan menunggu salat berjamaah di Masjid pondok. Setiap salat Subuh, dapat dipastikan, imamnya adalah Mbah Muntaha sendiri. Sedangkan untuk salat rawatib lainnya adalah Mbah Mus, adik Mbah Mun.
Satu hal yang bisa saya tandai dari Mbah Muntaha, dalam setiap salat berjamaah Subuh, beliau akan jadi imam, bercelana training, berjubah longgar, berpeci putih, dan sorban bermotif hitam-putih seperti milik Yaser Arafat. Tanda khas lain Mbah Muntaha adalah, jika menjadi imam salat beliau akan secepat kilat, tuma’ninah dalam salat tidak sampai beberapa detik. Tetapi ketika salat sendirian, Mbah Mun akan berlama-lama rukuk dan sujud. Suatu saat seorang tamu iseng bertanya: “Mbah Mun, Panjenengan, kalau jadi imam, kok, begitu cepat. Kenapa?”
Sambil berseloroh, Mbah Muntaha menjawab: “Saya sengaja mempercepat, biar sebelum setan sempat menggoda, kita sudah selesai salatnya.”
Tanpa salat Subuh berjamaah dengan Mbah Mun, saya merasakan, seakan-akan perputaran hari yang akan saya lewati terasa kurang. Bagaimanapun dingin udara pagi pegunungan menusuk tulang, dan serangan kantuk yang sangat hebat, karena kami sering tidur larut malam, untuk salat Subuh berjamaah di belakang Mbah Muntaha seakan rugi untuk ditinggalkan. Saya merasa, itu karena kecintaan kami kepada guru kami tersebut.
Karena kecintaan kami juga, setiap kali mencium tangan Mbah Muntaha, lega rasanya. Seolah-olah ada energi spiritual yang terserap masuk. Saya selalu bergetar setiap kali menjabat tangan itu, tangan dengan arteri menonjol di sana-sini. Bahkan, di kalangan santri beliau, ada semacam kebanggaan tersendiri jika seorang santri bisa menyucup lama tangan beliau, apalagi bisa mencium bolak-balik, bagian atas dan bagian dalam. Jika ada yang berhasil, maka si santri akan berbangga diri setengah berteriak di tengah teman-temannya bahwa dirinya baru saja mencium tangan Mbah Mun bolak-balik. Dan dalam setiap kesempatan, jika ada, kami akan berebut mencium tangan beliau. Tetapi, itu jarang. Apalagi Mbah Mun juga akan segera menarik cepat-cepat tangan beliau. Rasanya, kami ingin selalu mencium, meskipun orang-orang yang berpandangan Islam puritan mengejek itu sebagai kultus, dan karenanya syirik, bid’ah, dan dosa. Tapi kami tidak perduli; kami tidak mencium “tangan” sebenarnya, kami sedang memberikan penghormatan mendalam kepada suatu “otoritas”, dan kami juga sedang menyatakan kecintaan kami kepada pemilik tangan tersebut. Mungkinkah dunia ini tanpa otoritas dan tanpa cinta?
Setelah selesai menjadi imam salat Subuh, Mbah Mun akan segera kembali ke ndalem yang berjarak beberapa meter dari masjid. Lalu, kami mempersiapkan Al Qur’an untuk mengaji langsung dengan beliau. Beliau akan datang lagi ke masjid tak lama kemudian, mengajar. Setiap pagi para santri diajar bahasa Arab dan tafsir. Setengah jam berikutnya, giliran para santri penghafal Al Qur’an menyetor hafalan. Mbah Mun akan duduk di atas kulit bulu domba putih kering, dengan menghadapi meja pendek dan cukup lebar, bersila. Di sekeliling meja itu akan diputari para santri penghafal Qur’an dengan jumlah sekali waktu tidak kurang dari 10 orang. Jika salah seorang santri sudah selesai, santri tersebut akan mundur, dan santri berikutnya segera mengisi tempat kosong yang ada. Menariknya, meskipun dengan 10 orang santri menyetor hafalan dalam satu waktu, Mbah Muntaha bisa saja tahu siapa yang salah, dan bagian ayat mana yang tertukar-tukar. Dalam banyak kesempatan, Mbah Mun menegur bacaan mad yang saya baca kurang panjang. Saya malu. Itu pelajaran buat saya. Saya berjanji pada diri sendiri, jika besuk-besuk mau setor lagi, maka hafalan harus sudah betul-betul ngelothok.
Selesai setoran hafalan santri putra, Mbah Mun segera beranjak menuju ke pengajian santriwati, di dalam asrama putri. Model setoran hafalan Al Qur’annya tidak jauh berbeda dengan para santri putra.
Sehabis pengajian Mbah Muntaha, para santri bergegas untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke Kampus bagi mahasiswa IIQ, ke sekolah bagi siswa SMP dan SMA TAQ, dan bagi santri malas, dia akan kembali tidur pulas. Pemandangan khas pada jam-jam ini adalah, di jalanan Kalibeber menuju kompleks kampus dan sekolah SMP & SMA tampak mengalir ribuan orang dengan baju yang hampir seragam, putih-putih. Mentakjubkan. Indah.
Selain Al Qur’an, pengajaran intensif bahasa Arab sangat digalakkan. Para siswa SMP & SMA, pada sore hari akan digembleng dengan pelajaran ini. Tidak kurang dari seorang kandidat doktor dari Al Azhar, Fahmi Al-Badr, warga Mesir, didatangkan untuk penggemblengan tersebut. Beberapa tenaga pengajar alumni Timur Tengah juga memperkuat barisan ini. Saya merasa amat beruntung pernah belajar langsung dari native-speaker bahasa Arab, meskipun masih berada di tanah Jawa. Pengalaman ini makin melengkapi tekad saya untuk meneruskan tradisi berkelana belajar Mbah Muntaha.
Menjelang Maghrib, semua kegiatan mengajar istirahat. Bagi para santri yang ingin olahraga disediakan sarananya: sepak takraw, bola voli, sepak bola, dan seminggu dua kali pelajaran silat Perisai Diri. Bahkan, untuk Perisai Diri, Mbah Mun setengah mengharuskan kepada para santri untuk mengikuti. Silat, ujar Mbah Muntaha suatu ketika, sangat baik untuk kesehatan jasmani dan rohani. Dan, bagi para santri yang tidak suka berolahraga, inilah waktu untuk sejenak beristirahat. Segelintir santri-santri yang baru beranjak puber bersantai-santai di depan jendela kamar masing-masing, ganjen. Rupanya mereka sedang berpacaran jarak jauh dengan beberapa santri putri, puluhan meter di ujung sana, yang juga sedang ganjen di pintu jendela asrama putri. Anak-anak puber ini, yang ketika paginya begitu fasih membaca Qur’an, saya heran, mendadak menjadi bisu, menggerak-gerakkan jari dan bahasa isyarat lainnya ke arah sosok-sosok ganjen lainnya di ujung sana, santriwati: mengungkapkan cinta lewat bahasa Tarzan. Namun, pada umumnya, beberapa kelompok santri membentuk lingkaran tersendiri, berbicara dari hal paling sepele, soal film dan novel, hingga soal pelajaran dan perbincangan seputar politik dan isu keislaman terbaru. Untuk soal pertama, kebanyakan didominasi anak-anak SMP dan SMA, sedang untuk dua topik terakhir adalah topik pembicaraan mahasiswa IIQ. Diam-diam, saya sering menyelinap diantara kelompok terakhir ini, menjadi pendengar setia. Saya masih ingat, suatu saat diskusi berkisar seputar ide hangat Atho Mudzar: apakah Yerusalem sekarang tempat yang disebutkan dalam Al Qur’an surah Al-Isra, atau bukan. Reaksi para santri beragam. Sebuah diskusi yang sangat hangat.
Setelah menjalankan salat Maghrib berjamaah, para santri akan membentuk lingkaran-lingkaran tersendiri di Masjid. Dengan bimbingan para santri senior, mereka belajar tartil Al Qur’an. Suasana riuh rendah suara bacaan Al Qur’an bergema tidak ada henti-hentinya, sahut meyahut. Di tengah malam dingin lereng gunung Dieng, suasana tersebut membuat makin syahdu. Indah.
Salat Isya’ berjamaah tidak bisa ditinggal, harus diikuti seluruh santri. Selepas itu diteruskan dengan sekolah diniyah. Kelas-kelas dibentuk mengikuti kelas mereka di waktu pagi hari. Tetapi kelas ini bukan barang mati, bagi santri yang sudah merasa cukup bisa, dia diperbolehkan mengambil kelas yang lebih tinggi. Di kelas diniyah ini, berbagai macam kitab kuning diajarkan: Fiqh, Tafsir, Nahwu, Shorof, Akidah, Tasawuf, dan lain-lain. Di kelas ini pula kitab dasar tentang adab belajar para santri diajarkan, Ta’limul Muta’allim. Salah satu isi yang sangat membekas dari kitab ini, kami diajarkan untuk menghormati guru-guru kami seperti halnya kami menghormati ibu-bapak kami. Kami juga diajarkan mencintai guru-guru kami sebagaimana halnya kami mencintai orang tua kami. Sebuah gambaran tradisi belajar & mengajar yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Kelas diniyah ini menyudahi keseluruhan program resmi Al Asy’ariah sehari penuh. Perputaran jadwal yang ketat dan padat. Melelahkan memang, tapi semua itu sirna seketika, karena, sekali lagi, keikhlasan, ketulusan dan rasa sayang Mbah Muntaha kepada kami. Waktu-waktu sisa menjelang malam umumnya dipakai para santri untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang seharian tadi diperoleh.
Pelajaran tambahan dalam kategori jadwal permingguan adalah pelajaran khitabah (pidato). Kelas khusus khitabah juga disediakan bagi mereka yang betul-betul ingin menjadi macan podium. Waktu untuk kelas khusus ini adalah seminggu tiga kali, diadakan selepas kelas diniyah. Karena bersifat tambahan, pesertanya sedikit. Hasil pengkaderan kelas khitabah ini, saya lihat, terbukti beberapa teman seangkatan saya sekarang telah menjadi macan podium. Menyesal saya dulu tidak ikut kelas tambahan ini. Waktu itu saya kemana? Mendengkur. Umumnya, unjuk kebolehan berpidato dipertontonkan pada hari Jum’at, di depan ribuan para santri putra dan putri yang berkumpul di aula masjid. Acara ini diadakan selepas salat Isya’. Sesekali acara ini dibuka oleh Mbah Muntaha. Di saat-saat inilah, kami bisa merasakan kedekatan dan rasa sayang Mbah Mun kepada kami. Beliau banyak bercerita tentang hidup dan kehidupan, menambah kuat semangat juang hidup kami. Petuah-petuah beliau sangat menghujam ke lubuk hati terdalam.
Tiga tahun bersama beliau, terasa sebagai masa-masa paling membahagiakan. Kalau saja tidak ingat tugas-tugas belajar lebih lanjut, ingin rasanya berlama-lama menyerap ilmu dan keteduhan, dan terus berada di bawah bimbingan Mbah Muntaha. Karena memenuhi tugas belajar ke Baghdad, Iraq, saya harus meninggalkan Kalibeber dan segala cerita suka dan duka –tentu, ada juga cerita duka, misalnya, wesel sering telat, karenanya saya sering ke warung pinggir pondok untuk “nyatet”, istilah santri Kalibeber untuk ngutang. Apalagi, hafalan Al Qur’an saya baru beberapa juz saja. Berat.
Menjelang keberangkatan ke Baghdad, Abah, kakak dan saya sendiri sowan Mbah Muntaha. Beliau memberi petuah, “Ibarat seperti tembakau, orang yang allamah, kalo tidak hafal Al Qur’an, rasanya kurang ambeg.” Meskipun Mbah Muntaha bukan perokok, tapi beliau tahu persis bagaimana memakai bahasa saya, seorang pemadat rokok berat. “Ambeg” adalah rasa tembakau yang bila dihisap terasa sangat mantap. Dan kata “allamah” sendiri berasal dari kata “alim”, arti: berilmu. Kata “allamah”, secara berseloroh, sering kami maknai dengan “mbah-mbahe pinter”. Bertahun-tahun petuah Mbah Mun ini sulit benar saya wujudkan. Sampai detik ini Al Qur’an saya hancur-hancuran. Beruntung betul kakak saya, dia dapat merampungkan Al Qur’annya di bawah bimbingan langsung Mbah Muntaha, menjadi seorang penghafal Al Qur’an, Alhafidz.
Tahun-tahun terus begulir. Kecintaan saya kepada Mbah Muntaha tidak berkurang. Setiap kali pulang kampung, saya pasti menyempatkan diri datang ke Kalibeber: sowan dan minta doa. Sowan terakhir terjadi setahun lalu. Dengan diantar salah satu pengurus pondok, saya menghadap. Mbah Muntaha gembira melihat saya datang. Tak lama kemudian beliau mendoakan. Doa yang panjang. Saya sulit menangkap isi doanya, karena beliau ucapkan dengan suara lirih. Saya mengamini, khusuk, dan terharu. Tak terasa lelehan air mata mengalir. Bahagia mendapat doa khusus dari orang yang Ikhlas dan dekat dengan Tuhan ini. Saya menggigil. Beberapa kali saya harus mengusap tetesan air mata.
Selesai berdoa, Mbah Muntaha bertanya, “Sampeyan, sekarang masih di India?”
“Betul, Mbah.” Jawab saya dengan penuh rasa hormat, menunduk.
“Waktu saya berkunjung ke Baghdad tiga tahun lalu, berziarah ke makam Sayyidina Ali dan makam Imam Hussain, putranya, kita tidak jumpa. Sampeyan sudah pergi ke India.”
“Inggih, Mbah.” Timpal saya. Seandainya saya masih di Baghdad, saya akan berkhidmah kepada Mbah Muntaha selama di sana, mengantar dan membantu beliau, ungkap saya dalam batin.
“Ini ada makanan. Yang ada cuma ini.” Ujar beliau sambil menyodorkan kue bolu warna merah kepada saya dan kepada teman pengantar saya, seorang santri senior. Padahal, saya melirik, di ruang tersebut tergeletak banyak toples untuk para tamu dengan segala macam jenis kue. Saya tidak tahu kenapa Mbah Mun bilang “cuma ini”.
“Tolong, ambilin gelas di bawah itu.” Tunjuk Mbah Muntaha, meminta pada pengurus pondok tadi untuk mengambilkan. Saya lihat ada dua gelas kosong di bawah tempat air Aqua tidak jauh dari kursi beliau.
“Isi gelas dengan Aqua itu, dan minumlah.”
Kami berdua meminumnya. Lega rasanya. Tenaga kami seakan-akan mendadak bertambah. Kedamaian menyusup pori-pori tubuh. Bahagia. Mbah Mun bercerita lumayan panjang pengalaman perjalanan beliau ke Iraq dan Cina. Beliau seakan-akan sedang mengajari kami untuk banyak-banyak melihat kebesaran ciptaan Allah di muka bumi.
Kami pamit. Masih hangat di ingatan, untuk kesekian kali saya meneteskan air mata saat memegangi tangan lembut junjungan kami tersebut. Saya menyucupnya lama, lama sekali. Kali ini Mbah Muntaha tidak lekas buru-buru menarik tangannya. Beliau membiarkan saya mengungkapkan rasa cinta saya dengan mencium berlama-lama.
Saat berpisah, rasanya berat kaki melangkah keluar dari ruang tamu tersebut. Saya masih terbawa oleh perasaan saya sendiri, terdiam. Tapi, teman saya tadi menepuk dengan riang. Saya heran, kenapa dia begitu gembira selepas kami pamitan dengan Mbah Muntaha.
“Tahukah, sampeyan, ini pengalaman pertama saya.” Ujar teman saya tersebut.
“Saya diberi oleh Mbah Mun, daharan beliau sendiri. Dan gelas yang tadi kita minum adalah gelas yang dipakai oleh Mbah Mun pribadi.”
“Pertanda apa ini?” Lanjutnya berbinar-binar.
Saya sendiri hanya terdiam. Saya sukar menangkap apa maksud ucapan dia, karena saya masih terbawa oleh perasaan sendiri. Apalagi, tidak lama lagi saya harus kembali ke India, dan saya tidak tahu kapan akan bertemu Mbah Mun lagi.
Berita tentang wafatnya Mbah Muntaha menggenapkan sudah ketakutan saya: Kapan saya bisa bertemu dan mencium lagi tangan mberkahi Mbah Mun itu? Saya sedih. Kini, kyai yang kami cintai itu telah pergi meninggalkan kami semua. Rasa-rasanya momen-momen kehidupan kami besama Mbah Mun tak akan tergantikan lagi, tak akan terulang kembali. Tapi, ingatan itu akan tetap bersama kami. Mbah Mun telah pergi, tapi Mbah Mun juga tetap tinggal dalam hati kami sebagai kenangan yang tak terhapuskan.
Allahumman-syur nafahatir ridlwani ‘alaihi
Wa amiddana bil asraril lati auda’taha ladaihi.
Belum lagi kering duka atas musibah kemanusiaan gelombang tsunami di Aceh, India, Srilangka dan negara-negara tetangga lainnya, hari ini duka bertambah: KH Muntaha Alhafidz telah wafat, Rabu, 29 Desember 2004. KH Muntaha Alhafidz adalah pengasuh Pondok Pesantren Al Asy’ariah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau adalah guru, ulama panutan, dan orang yang sangat kami cintai.
Membaca berita duka ini, saya sempat terpaku untuk beberapa saat. Berat menahan kelopak mata untuk tidak menumpahkan air mata. Rasa kehilangan dan kegersangan tiba-tiba menyergap ruang batin saya yang paling dalam. Hampa.
Wafatnya KH Muntaha Alhafidz telah meninggalkan ruang kosong dalam diri saya yang mungkin sulit akan terisi untuk jangka waktu yang lama. Guru kami ini, KH Muntaha Alhafidz, berangkat dari takzim dan kecintaan yang mendalam, kami panggil dengan Mbah Mun. Ulama sepuh, karismatik, dan pernah dikhoskan oleh Abdurrahman “Gus Dur” Wahid.
Sosok Mbah Mun adalah sosok istimewa di keluarga saya. Sejak masih di bangku SMP, yang saya habiskan di kampung sendiri, Abah saya selalu berkata: “Selepas SMP kamu harus ke Kalibeber, ngaji sama Mbah Mun.”
“Kenapa saya harus jauh-jauh mondok ke daerah lereng pegunungan Dieng itu?” bantah saya.
“Kalau kita akan ngaji, carilah guru yang tua, soleh, alim, dan wara’.” Jawab Abah. Waktu itu saya tidak tahu apa makna kriteria-kriteria tersebut.
“Mbah Muntaha ini,” lanjut Abah, “juga seorang penghafal Al Qur’an, Hafidz, yang tidak saja mberkahi, tapi karena saya juga berharap kamu akan menjadi seorang Hafidz kelak.” Saya mengiyakan, dan berangkat. Satu tahun berikutnya kakak saya menyusul. Saya masuk SMA TAQ (Takhasus Al Qur’an), sedang kakak saya masuk IIQ (Institut Ilmu Al Qur’an; sekarang sudah dirubah menjadi UNSIQ, Universitas Sains Al-Qur’an). Tahun-tahun berikutnya menyusul adik-adik saya.
Pada tahun awal kedatangan saya di Kalibeber, kebetulan, Mbah Muntaha sedang mendirikan SMP dan SMA TAQ. Pada tahun-tahun sebelumnya, Mbah Mun baru mendirikan IIQ Jawa Tengah. Respon masyarakat di daerah Wonosobo dan sekitarnya sangat luar biasa. Untuk kelas pertama SMA TAQ saja, angkatan pertama terdaftar sebanyak tujuh kelas, dengan setiap kelasnya tidak kurang dari 45-an siswa. Saya termasuk angkatan pertama SMA TAQ tersebut. SMP TAQ dengan lima kelas. Pada tahun-tahun berikutnya, antusiasme masyarakat semakin tinggi, SMP dan SMA TAQ dijejali dengan siswa baru dari berbagai pelosok Tanah Air. Pada masa itu tidak kurang 16 propinsi tercatat sebagai daerah asal santri.
Setelah beberapa saat di Kalibeber, saya baru bisa memahami kriteria-kriteria yang Abah saya ceritakan. Rupanya, kriteria-kriteria tersebut tercantum di sebuah kitab tentang tata cara dan adab belajar kalangan pesantren, Ta’limul Muta’alim fi Adab al Ta’allum, kriteria yang menjadi patokan para Nahdliyin dalam mengirimkan putra-putrinya ke sebuah pesantren. Dan saya baru tahu, semua kriteria-kriteria yang Abah saya sebut betul-betul semuanya ada pada Mbah Mun.
Selain itu, sifat menonjol Guru kami ini adalah murah hati. Kesejahteraan warga setempat menjadi perhatian khusus Mbah Muntaha. Strategi ekonomi Mbah Muntaha dalam memberdayakan warga telah berhasil. Dengan berduyun-duyunnya ribuan santri yang datang mondok, pelan-pelan, ekonomi warga daerah Kalibeber dan sekitarnya menjadi makin terangkat. Arus uang masuk dari para wali santri ke Kalibeber tidak kemana-mana, tapi ke brangkas warga Kalibeber. Mbah Mun melarang pihak pesantren membuat dapur umum. “Biarkan para santri makan di warung-warung dan di rumah warga, atau memasak sendiri,” ujar Mbah Mun suatu ketika. Ini sifat panutan Mbah Muntaha yang sangat membekas kuat di benak saya: perilaku zuhud, ikhlas dan berkhidmah untuk umat. Dengan makin bertambahnya jumlah penduduk Kalibeber, strategi ini adalah salah satu strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tepat. Sekarang ini, tenaga kerja di daerah tersebut terserap di lembaga pendidikan tersebut. Dulu, ketika penduduk Kalibeber belum banyak, Mbah Muntaha cukup dengan menyantuni saja, dan Mbah Muntaha sendiri mencukupkan diri dengan pesantren khusus penghafal Al Qur’annya yang sederhana, pesantren Al Asy’ariah.
Pesantren Al Asy’ariyah adalah sebuah pesantren tua. Mbah Muntaha merupakan generasi ketiga pemegang pesantren tersebut. Pendiri pesantren ini adalah Kyai Abdurrahman, ulama seperjuangan Pangeran Diponegoro.
Pada saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, para pengikutnya dikejar-kejar, Mbah Abdurrahman berhasil meloloskan diri, dan bersembunyi di lereng pegunungan Dieng –kelak, daerah ini menjadi desa Kalibeber sekarang. Di desa ini Mbah Abdurrahman menyebarkan dan mengajarkan Islam. Akhirnya, ketika para santri mulai berdatangan, cikal bakal pesantren Al Asy’ariyah berdiri.
Generasi kedua pesantren ini diasuh oleh sang putra, Kyai Asy’ari –nama yang kelak diabadikan oleh Mbah Muntaha untuk nama pesantren tersebut. Ternyata, pemilihan nama tersebut, bukan tanpa sebab. Tetapi karena kesan mendalam Mbah Muntaha atas perjuangan Mbah Asy’ari yang gigih membela rakyat dan Islam, terutama dalam konfrontasinya dengan Belanda.
Pada masa kemerdekaan, karena kecintaan Mbah Asy’ari terhadap rakyat dengan advokasi-advokasi kerasnya, dan kecintaannya terhadap kemerdekaan dan Tanah Air, Belanda merasa gerah. Mbah Asy’ari dikejar-kejar. Untuk menghindari penangkapan Belanda, Mbah Asy’ari mengungsi ke daerah lereng terjal pegunungan Dieng yang sangat sulit dijangkau orang, Dero Duwur. Belum sempat kembali lagi ke Kalibeber, Mbah Asy’ari terserang sakit, dan wafat di tempat persembunyian tersebut. Setiap menjelang Ramadhan, sudah menjadi tradisi, para santri Kalibeber diwajibkan untuk napak tilas perjuangan berat Mbah Asy’ari ini, dan sekaligus berziarah ke makam beliau. Bagi saya, tradisi napak tilas ini adalah sebuah tradisi yang sangat bermakna. Pada saat-saat napak tilas tersebut semangat patriotisme seakan-akan meledak. Luar biasa.
Sepeninggal Mbah Asy’ari, sebagai putra tertua, Mbah Muntaha mengambil alih estafet kepemimpinan pesantren warisan Mbah Abdurrahman tersebut, dan dirubah-namakan menjadi Al Asyari’ah. Pesantren ini tetap melanjutkan tradisinya sebagai pesantren penghafal Al Qur’an. Mbah Mun, selain mendapatkan ijazah hafidz dari beberapa kyai ternama pada masanya, juga berguru ke beberapa ulama besar pada zamannya.
Bagi Mbah Mun, seperti yang sering diceritakan kepada kami, saat-saat paling berkesan adalah saat mondok di Kendal. Di pesantren ini, tidak saja diajarkan hidup sederhana, wara’ dan zuhud, tapi juga karena berat perjalanan yang harus di tempuh. Pada suatu masa, untuk bisa mencapai daerah Kendal, dari Wonosobo Mbah Muntaha harus melewati daerah angker Alas Roban, yang masa itu terkenal sebagai pusat perampok. Perjalanan ini dilewati Mbah Mun dengan berjalan kaki. Pada masa lain, Mbah Muntaha juga melewati jalan lain, menerobos pegunungan Dieng, dari lereng sebelah selatan, hingga menembus ke lereng sebelah utara hingga sampai di daerah Kendal. Lagi-lagi, perjalanan dengan berjalan kaki. Sebuah perjalanan yang sangat mengesankan, begitu beliau menggambarkan. 14 tahun silam, kami para santri Kalibeber, putra dan putri, diwajibkan untuk berangkat ke puncak pegunungan Dieng, ribuan santri, berangkat dengan berkendaraan, dan pulang ke Kalibeber berpuluh-puluh kilometer dengan berjalan kaki, agar merasakan bagaimana masa-masa sulit beliau dalam belajar. Sungguh perjalanan musafir belajar yang melelahkan, dan –satu lagi– mengasyikkan. Di samping itu, pemandangan indah dan keajaiban-keajaiban alam, kawah Si Kidang misalnya, dapat langsung kami saksikan selama napak tilas ini. Kami terpesona dengan kebesaran Allah SWT. Subhanallah. Maha Suci Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Dari kacamata tahun 2004, 14 tahun kemudian, masa-masa tersebut betul-betul indah. Sangat mengesankan. Tak terasa waktu 14 tahun bergerak begitu cepat. Pengalaman-pengalaman semacam itu rasa-rasanya baru kemaren berlangsung.
Saya heran, rentang hidup yang sudah cukup lama ini, masa-masa yang hanya berlangsung beberapa tahun di Kalibeber begitu sulit untuk dilupakan. Mungkin ini berkat ketulusan dan keikhlasan Mbah Muntaha dalam mendidik kami. Sifat wira’i dan zuhud Mbah Muntaha begitu membekas di memori saya, sebuah tauladan kesalehan para ulama-ulama sepuh. Bahkan kepenatan belajar dari pagi hingga malam yang tidak ada hentinya, seakan tidak kami rasakan lagi. Saya yakin, sekali lagi, semua ini berkat keikhlasan, ketulusan dan rasa sayang beliau ke kami.
Di bawah dingin udara gunung, kami dibangunkan jam 4 pagi. Berat, tapi wajib. Salat sunah, dan menunggu salat berjamaah di Masjid pondok. Setiap salat Subuh, dapat dipastikan, imamnya adalah Mbah Muntaha sendiri. Sedangkan untuk salat rawatib lainnya adalah Mbah Mus, adik Mbah Mun.
Satu hal yang bisa saya tandai dari Mbah Muntaha, dalam setiap salat berjamaah Subuh, beliau akan jadi imam, bercelana training, berjubah longgar, berpeci putih, dan sorban bermotif hitam-putih seperti milik Yaser Arafat. Tanda khas lain Mbah Muntaha adalah, jika menjadi imam salat beliau akan secepat kilat, tuma’ninah dalam salat tidak sampai beberapa detik. Tetapi ketika salat sendirian, Mbah Mun akan berlama-lama rukuk dan sujud. Suatu saat seorang tamu iseng bertanya: “Mbah Mun, Panjenengan, kalau jadi imam, kok, begitu cepat. Kenapa?”
Sambil berseloroh, Mbah Muntaha menjawab: “Saya sengaja mempercepat, biar sebelum setan sempat menggoda, kita sudah selesai salatnya.”
Tanpa salat Subuh berjamaah dengan Mbah Mun, saya merasakan, seakan-akan perputaran hari yang akan saya lewati terasa kurang. Bagaimanapun dingin udara pagi pegunungan menusuk tulang, dan serangan kantuk yang sangat hebat, karena kami sering tidur larut malam, untuk salat Subuh berjamaah di belakang Mbah Muntaha seakan rugi untuk ditinggalkan. Saya merasa, itu karena kecintaan kami kepada guru kami tersebut.
Karena kecintaan kami juga, setiap kali mencium tangan Mbah Muntaha, lega rasanya. Seolah-olah ada energi spiritual yang terserap masuk. Saya selalu bergetar setiap kali menjabat tangan itu, tangan dengan arteri menonjol di sana-sini. Bahkan, di kalangan santri beliau, ada semacam kebanggaan tersendiri jika seorang santri bisa menyucup lama tangan beliau, apalagi bisa mencium bolak-balik, bagian atas dan bagian dalam. Jika ada yang berhasil, maka si santri akan berbangga diri setengah berteriak di tengah teman-temannya bahwa dirinya baru saja mencium tangan Mbah Mun bolak-balik. Dan dalam setiap kesempatan, jika ada, kami akan berebut mencium tangan beliau. Tetapi, itu jarang. Apalagi Mbah Mun juga akan segera menarik cepat-cepat tangan beliau. Rasanya, kami ingin selalu mencium, meskipun orang-orang yang berpandangan Islam puritan mengejek itu sebagai kultus, dan karenanya syirik, bid’ah, dan dosa. Tapi kami tidak perduli; kami tidak mencium “tangan” sebenarnya, kami sedang memberikan penghormatan mendalam kepada suatu “otoritas”, dan kami juga sedang menyatakan kecintaan kami kepada pemilik tangan tersebut. Mungkinkah dunia ini tanpa otoritas dan tanpa cinta?
Setelah selesai menjadi imam salat Subuh, Mbah Mun akan segera kembali ke ndalem yang berjarak beberapa meter dari masjid. Lalu, kami mempersiapkan Al Qur’an untuk mengaji langsung dengan beliau. Beliau akan datang lagi ke masjid tak lama kemudian, mengajar. Setiap pagi para santri diajar bahasa Arab dan tafsir. Setengah jam berikutnya, giliran para santri penghafal Al Qur’an menyetor hafalan. Mbah Mun akan duduk di atas kulit bulu domba putih kering, dengan menghadapi meja pendek dan cukup lebar, bersila. Di sekeliling meja itu akan diputari para santri penghafal Qur’an dengan jumlah sekali waktu tidak kurang dari 10 orang. Jika salah seorang santri sudah selesai, santri tersebut akan mundur, dan santri berikutnya segera mengisi tempat kosong yang ada. Menariknya, meskipun dengan 10 orang santri menyetor hafalan dalam satu waktu, Mbah Muntaha bisa saja tahu siapa yang salah, dan bagian ayat mana yang tertukar-tukar. Dalam banyak kesempatan, Mbah Mun menegur bacaan mad yang saya baca kurang panjang. Saya malu. Itu pelajaran buat saya. Saya berjanji pada diri sendiri, jika besuk-besuk mau setor lagi, maka hafalan harus sudah betul-betul ngelothok.
Selesai setoran hafalan santri putra, Mbah Mun segera beranjak menuju ke pengajian santriwati, di dalam asrama putri. Model setoran hafalan Al Qur’annya tidak jauh berbeda dengan para santri putra.
Sehabis pengajian Mbah Muntaha, para santri bergegas untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke Kampus bagi mahasiswa IIQ, ke sekolah bagi siswa SMP dan SMA TAQ, dan bagi santri malas, dia akan kembali tidur pulas. Pemandangan khas pada jam-jam ini adalah, di jalanan Kalibeber menuju kompleks kampus dan sekolah SMP & SMA tampak mengalir ribuan orang dengan baju yang hampir seragam, putih-putih. Mentakjubkan. Indah.
Selain Al Qur’an, pengajaran intensif bahasa Arab sangat digalakkan. Para siswa SMP & SMA, pada sore hari akan digembleng dengan pelajaran ini. Tidak kurang dari seorang kandidat doktor dari Al Azhar, Fahmi Al-Badr, warga Mesir, didatangkan untuk penggemblengan tersebut. Beberapa tenaga pengajar alumni Timur Tengah juga memperkuat barisan ini. Saya merasa amat beruntung pernah belajar langsung dari native-speaker bahasa Arab, meskipun masih berada di tanah Jawa. Pengalaman ini makin melengkapi tekad saya untuk meneruskan tradisi berkelana belajar Mbah Muntaha.
Menjelang Maghrib, semua kegiatan mengajar istirahat. Bagi para santri yang ingin olahraga disediakan sarananya: sepak takraw, bola voli, sepak bola, dan seminggu dua kali pelajaran silat Perisai Diri. Bahkan, untuk Perisai Diri, Mbah Mun setengah mengharuskan kepada para santri untuk mengikuti. Silat, ujar Mbah Muntaha suatu ketika, sangat baik untuk kesehatan jasmani dan rohani. Dan, bagi para santri yang tidak suka berolahraga, inilah waktu untuk sejenak beristirahat. Segelintir santri-santri yang baru beranjak puber bersantai-santai di depan jendela kamar masing-masing, ganjen. Rupanya mereka sedang berpacaran jarak jauh dengan beberapa santri putri, puluhan meter di ujung sana, yang juga sedang ganjen di pintu jendela asrama putri. Anak-anak puber ini, yang ketika paginya begitu fasih membaca Qur’an, saya heran, mendadak menjadi bisu, menggerak-gerakkan jari dan bahasa isyarat lainnya ke arah sosok-sosok ganjen lainnya di ujung sana, santriwati: mengungkapkan cinta lewat bahasa Tarzan. Namun, pada umumnya, beberapa kelompok santri membentuk lingkaran tersendiri, berbicara dari hal paling sepele, soal film dan novel, hingga soal pelajaran dan perbincangan seputar politik dan isu keislaman terbaru. Untuk soal pertama, kebanyakan didominasi anak-anak SMP dan SMA, sedang untuk dua topik terakhir adalah topik pembicaraan mahasiswa IIQ. Diam-diam, saya sering menyelinap diantara kelompok terakhir ini, menjadi pendengar setia. Saya masih ingat, suatu saat diskusi berkisar seputar ide hangat Atho Mudzar: apakah Yerusalem sekarang tempat yang disebutkan dalam Al Qur’an surah Al-Isra, atau bukan. Reaksi para santri beragam. Sebuah diskusi yang sangat hangat.
Setelah menjalankan salat Maghrib berjamaah, para santri akan membentuk lingkaran-lingkaran tersendiri di Masjid. Dengan bimbingan para santri senior, mereka belajar tartil Al Qur’an. Suasana riuh rendah suara bacaan Al Qur’an bergema tidak ada henti-hentinya, sahut meyahut. Di tengah malam dingin lereng gunung Dieng, suasana tersebut membuat makin syahdu. Indah.
Salat Isya’ berjamaah tidak bisa ditinggal, harus diikuti seluruh santri. Selepas itu diteruskan dengan sekolah diniyah. Kelas-kelas dibentuk mengikuti kelas mereka di waktu pagi hari. Tetapi kelas ini bukan barang mati, bagi santri yang sudah merasa cukup bisa, dia diperbolehkan mengambil kelas yang lebih tinggi. Di kelas diniyah ini, berbagai macam kitab kuning diajarkan: Fiqh, Tafsir, Nahwu, Shorof, Akidah, Tasawuf, dan lain-lain. Di kelas ini pula kitab dasar tentang adab belajar para santri diajarkan, Ta’limul Muta’allim. Salah satu isi yang sangat membekas dari kitab ini, kami diajarkan untuk menghormati guru-guru kami seperti halnya kami menghormati ibu-bapak kami. Kami juga diajarkan mencintai guru-guru kami sebagaimana halnya kami mencintai orang tua kami. Sebuah gambaran tradisi belajar & mengajar yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Kelas diniyah ini menyudahi keseluruhan program resmi Al Asy’ariah sehari penuh. Perputaran jadwal yang ketat dan padat. Melelahkan memang, tapi semua itu sirna seketika, karena, sekali lagi, keikhlasan, ketulusan dan rasa sayang Mbah Muntaha kepada kami. Waktu-waktu sisa menjelang malam umumnya dipakai para santri untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang seharian tadi diperoleh.
Pelajaran tambahan dalam kategori jadwal permingguan adalah pelajaran khitabah (pidato). Kelas khusus khitabah juga disediakan bagi mereka yang betul-betul ingin menjadi macan podium. Waktu untuk kelas khusus ini adalah seminggu tiga kali, diadakan selepas kelas diniyah. Karena bersifat tambahan, pesertanya sedikit. Hasil pengkaderan kelas khitabah ini, saya lihat, terbukti beberapa teman seangkatan saya sekarang telah menjadi macan podium. Menyesal saya dulu tidak ikut kelas tambahan ini. Waktu itu saya kemana? Mendengkur. Umumnya, unjuk kebolehan berpidato dipertontonkan pada hari Jum’at, di depan ribuan para santri putra dan putri yang berkumpul di aula masjid. Acara ini diadakan selepas salat Isya’. Sesekali acara ini dibuka oleh Mbah Muntaha. Di saat-saat inilah, kami bisa merasakan kedekatan dan rasa sayang Mbah Mun kepada kami. Beliau banyak bercerita tentang hidup dan kehidupan, menambah kuat semangat juang hidup kami. Petuah-petuah beliau sangat menghujam ke lubuk hati terdalam.
Tiga tahun bersama beliau, terasa sebagai masa-masa paling membahagiakan. Kalau saja tidak ingat tugas-tugas belajar lebih lanjut, ingin rasanya berlama-lama menyerap ilmu dan keteduhan, dan terus berada di bawah bimbingan Mbah Muntaha. Karena memenuhi tugas belajar ke Baghdad, Iraq, saya harus meninggalkan Kalibeber dan segala cerita suka dan duka –tentu, ada juga cerita duka, misalnya, wesel sering telat, karenanya saya sering ke warung pinggir pondok untuk “nyatet”, istilah santri Kalibeber untuk ngutang. Apalagi, hafalan Al Qur’an saya baru beberapa juz saja. Berat.
Menjelang keberangkatan ke Baghdad, Abah, kakak dan saya sendiri sowan Mbah Muntaha. Beliau memberi petuah, “Ibarat seperti tembakau, orang yang allamah, kalo tidak hafal Al Qur’an, rasanya kurang ambeg.” Meskipun Mbah Muntaha bukan perokok, tapi beliau tahu persis bagaimana memakai bahasa saya, seorang pemadat rokok berat. “Ambeg” adalah rasa tembakau yang bila dihisap terasa sangat mantap. Dan kata “allamah” sendiri berasal dari kata “alim”, arti: berilmu. Kata “allamah”, secara berseloroh, sering kami maknai dengan “mbah-mbahe pinter”. Bertahun-tahun petuah Mbah Mun ini sulit benar saya wujudkan. Sampai detik ini Al Qur’an saya hancur-hancuran. Beruntung betul kakak saya, dia dapat merampungkan Al Qur’annya di bawah bimbingan langsung Mbah Muntaha, menjadi seorang penghafal Al Qur’an, Alhafidz.
Tahun-tahun terus begulir. Kecintaan saya kepada Mbah Muntaha tidak berkurang. Setiap kali pulang kampung, saya pasti menyempatkan diri datang ke Kalibeber: sowan dan minta doa. Sowan terakhir terjadi setahun lalu. Dengan diantar salah satu pengurus pondok, saya menghadap. Mbah Muntaha gembira melihat saya datang. Tak lama kemudian beliau mendoakan. Doa yang panjang. Saya sulit menangkap isi doanya, karena beliau ucapkan dengan suara lirih. Saya mengamini, khusuk, dan terharu. Tak terasa lelehan air mata mengalir. Bahagia mendapat doa khusus dari orang yang Ikhlas dan dekat dengan Tuhan ini. Saya menggigil. Beberapa kali saya harus mengusap tetesan air mata.
Selesai berdoa, Mbah Muntaha bertanya, “Sampeyan, sekarang masih di India?”
“Betul, Mbah.” Jawab saya dengan penuh rasa hormat, menunduk.
“Waktu saya berkunjung ke Baghdad tiga tahun lalu, berziarah ke makam Sayyidina Ali dan makam Imam Hussain, putranya, kita tidak jumpa. Sampeyan sudah pergi ke India.”
“Inggih, Mbah.” Timpal saya. Seandainya saya masih di Baghdad, saya akan berkhidmah kepada Mbah Muntaha selama di sana, mengantar dan membantu beliau, ungkap saya dalam batin.
“Ini ada makanan. Yang ada cuma ini.” Ujar beliau sambil menyodorkan kue bolu warna merah kepada saya dan kepada teman pengantar saya, seorang santri senior. Padahal, saya melirik, di ruang tersebut tergeletak banyak toples untuk para tamu dengan segala macam jenis kue. Saya tidak tahu kenapa Mbah Mun bilang “cuma ini”.
“Tolong, ambilin gelas di bawah itu.” Tunjuk Mbah Muntaha, meminta pada pengurus pondok tadi untuk mengambilkan. Saya lihat ada dua gelas kosong di bawah tempat air Aqua tidak jauh dari kursi beliau.
“Isi gelas dengan Aqua itu, dan minumlah.”
Kami berdua meminumnya. Lega rasanya. Tenaga kami seakan-akan mendadak bertambah. Kedamaian menyusup pori-pori tubuh. Bahagia. Mbah Mun bercerita lumayan panjang pengalaman perjalanan beliau ke Iraq dan Cina. Beliau seakan-akan sedang mengajari kami untuk banyak-banyak melihat kebesaran ciptaan Allah di muka bumi.
Kami pamit. Masih hangat di ingatan, untuk kesekian kali saya meneteskan air mata saat memegangi tangan lembut junjungan kami tersebut. Saya menyucupnya lama, lama sekali. Kali ini Mbah Muntaha tidak lekas buru-buru menarik tangannya. Beliau membiarkan saya mengungkapkan rasa cinta saya dengan mencium berlama-lama.
Saat berpisah, rasanya berat kaki melangkah keluar dari ruang tamu tersebut. Saya masih terbawa oleh perasaan saya sendiri, terdiam. Tapi, teman saya tadi menepuk dengan riang. Saya heran, kenapa dia begitu gembira selepas kami pamitan dengan Mbah Muntaha.
“Tahukah, sampeyan, ini pengalaman pertama saya.” Ujar teman saya tersebut.
“Saya diberi oleh Mbah Mun, daharan beliau sendiri. Dan gelas yang tadi kita minum adalah gelas yang dipakai oleh Mbah Mun pribadi.”
“Pertanda apa ini?” Lanjutnya berbinar-binar.
Saya sendiri hanya terdiam. Saya sukar menangkap apa maksud ucapan dia, karena saya masih terbawa oleh perasaan sendiri. Apalagi, tidak lama lagi saya harus kembali ke India, dan saya tidak tahu kapan akan bertemu Mbah Mun lagi.
Berita tentang wafatnya Mbah Muntaha menggenapkan sudah ketakutan saya: Kapan saya bisa bertemu dan mencium lagi tangan mberkahi Mbah Mun itu? Saya sedih. Kini, kyai yang kami cintai itu telah pergi meninggalkan kami semua. Rasa-rasanya momen-momen kehidupan kami besama Mbah Mun tak akan tergantikan lagi, tak akan terulang kembali. Tapi, ingatan itu akan tetap bersama kami. Mbah Mun telah pergi, tapi Mbah Mun juga tetap tinggal dalam hati kami sebagai kenangan yang tak terhapuskan.
Allahumman-syur nafahatir ridlwani ‘alaihi
Wa amiddana bil asraril lati auda’taha ladaihi.
No comments:
Post a Comment